Selasa, 02 Oktober 2012

Suraqah bin Malik Menanti Janji Rasulullah

Rasa kecewa, marah dan putus asa berkecamuk dalam dada para pembesar Quraisy. Mereka gagal menghadang langkah Rasulullah saw dan Abu Bakar yang hijrah ke Yatsrib. Padahal mereka sudah mengepung rumah Rasulullah, bahkan sudah sampai di mulut Gua Tsur—tempat persembunyian Rasulullah dan Abu Bakar. Akhirnya mereka memutuskan membuat sayembara untuk menangkap keduanya. Agar tidak terlalu berat menanggung malu, sayembara itu diumumkan ke segenap kabilah yang terpencar di sepanjang jalan antara Makkah dan Yatsrib.
“Barang siapa yang berhasil membawa Muhammad,
hidup atau mati, maka baginya seratus ekor unta betina yang hampir beranak.” Demikian bunyi pengumuman spektakuler itu.
Berita itu menyebar ke mana-mana. Tak terkecuali ke Madlaj, kampung kecil di pinggiran kota Makkah. Ketika utusan dari Makkah datang membawa berita sayembara itu, beberapa penduduk kampung itu sedang nongkrong di Balai Desa. Mendengar pengumuman itu, seorang pemuda bernama Suraqah bin Malik al-Madlaji sangat tertarik. Dia bertekad merebut hadiah besar itu. Rasa tamak membuatnya ingin memenangkan sayembara itu sendirian. Karena itu, ia tidak membeberkan rencananya ke orang lain.
Kebetulan, ada seorang lelaki datang ke Balai Desa. Laki-laki itu bercerita bahwa baru saja dia berpapasan dengan tiga orang musafir. Kuat dugaannya, ketiga orang itu adalah Muhammad, Abu Bakar dan seorang penunjuk jalan.
“Tidak mungkin!” bantah Suraqah. “Mereka adalah Bani Fulan yang tadi lewat sini untuk mencari unta mereka yang hilang,” lanjut Suraqah mengaburkan perhatian mereka.
“Mungkin saja,” kata yang lain mengiyakan Suraqah. Siasat Suraqah tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang berada di Balai Desa. Ketika mereka beralih membicarakan masalah lain, diam-diam Suraqah menyelinap keluar. Ia bergegas pulang. Sampai di rumah, ia menyuruh pelayannya menyiapkan kuda dan membawanya ke sebuah lembah yang disepakati dan menambatkannya di sana.
“Keluarlah dari pintu belakang. Hati-hati, jangan sampai dilihat orang! Siapkan juga senjataku,” perintah Suraqah.
Beberapa saat kemudian, Suraqah pergi menyusul. Setelah berjumpa dengan pelayannya, segera ia mengenakan baju besi, menyandang pedang dan memasang pelana. Kemudian ia memacu kudanya sekencang-kencangnya. Dalam benaknya terbayang seratus ekor unta akan berada dalam genggamannya.
Suraqah bin Malik terkenal sebagai penunggang kuda yang cetakan. Perawakannya tinggi besar, pandangan matanya tajam. Pantas ia menjadi pencari jejak yang andal. Tidak ada jalan yang sulit baginya. Apalagi kudanya tangkas dan terlatih baik.
Suraqah terus memacu kudanya. Tanpa diduga, tiba-tiba kaki kudanya tersandung. Suraqah pun jatuh terguling. “Kuda sialan!” katanya menyumpah kesal.
Tanpa mempedulikan rasa sakit, ia melompat lagi ke punggung kudanya, dan langsung menghelanya. Baru beberapa tombak, kudanya tersandung lagi. Suraqah semakin kesal sekaligus heran. Belum pernah ia mengalami kejadian seperti ini. Sempat terbesit di hatinya, ingin kembali saja ke kampungnya. Tapi ambisinya untuk memiliki seratus ekor unta membakar semangatnya untuk memacu lagi kudanya.
Tiba-tiba dada Suraqah berdesir. Kegembiraan yang luar biasa meluap dalam hatinya. Tidak begitu jauh di depan, ia melihat tiga orang sedang berjalan. Ia yakin mereka adalah objek buruannya. Pelan-pelan ia mendakat. Dan dalam jarak yang sangat dekat, tangannya bergerak mengambil busur. Aneh, tiba-tiba tangannya menjadi kaku, sedikitpun tak dapat digerakkan. Kaki kudanya terbenam pasir. Debu-debu berterbangan di sekitarnya, membuat matanya kelilipan dan tak dapat melihat. Dicobanya menggertak kuda tetapi sia-sia saja. Kaki kudanya lekat di bumi bagai dipaku. Dalam keadaan panik, Suraqah akhirnya berteriak, “Hai, berdo’alah kepada Tuhan kalian, supaya Dia melepaskan kaki kudaku. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian!”
Rasulullah menoleh, tersenyum, dan berdo’a. Sungguh menakjubkan, kaki kuda Suraqah terbebas dari jepitan pasir. Suraqah merasa heran dan kagum. Namun rasa tamak sudah menguasai dirinya. Melupakan janjinya, secara tiba-tiba ia maju menerjang Rasulullah. Malang baginya, kaki kudanya terperosok lagi, bahkan lebih parah dari semula. Rasa takut menggentarkan hati Suraqah. Ia segera memohon belas kasihan kepada Rasulullah.
“Ambillah perbekalanku, harta, dan senjataku. Aku berjanji, demi Allah, tidak akan mengganggu kalian lagi,” ucap Suraqah.
“Kami tidak butuh hartamu. Jika kamu menyuruh kembali setiap orang yang hendak mengejar kami, itu sudah cukup bagi kami,” jawab Rasulullah saw. Rasulullah lantas berdo’a, dan bebaslah Suraqah dan kudanya.
“Demi Tuhan, saya tidak akan mengganggu tuan-tuan lagi. Aku akan menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak kalian sesudahku nanti,” janji Suraqah seraya beranjak kembali.
“Apa yang engkau kehendaki dari kami?” tanya Rasulullah.
“Demi Allah, wahai Muhammad, saya yakin agama yang engkau bawa akan menang dan kekuasaan engkau akan tinggi. Berjanjilah padaku, apabila aku nanti datang menemuimu, sudilah engkau bermurah hati padaku.”
“Hai Suraqah, bagaimana jika pada suatu waktu engkau memakai gelang kebesaran Kisra?” tanya Rasulullah.
“Gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz?” cetus Suraqah kaget.
“Ya, gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz!”
“Tuliskanlah itu untuk saya.”
Rasulullah menyuruh Abu Bakar menulis pada sepotong tulang, lalu beliau memberikan tulang itu kepada Suraqah.
Setelah yakin Rasulullah bisa melanjutkan kembali perjalanannya dengan aman, Suraqah kembali pulang. Di tengah jalan ia berpapasan dengan orang-orang yang hendak mengejar Rasulullah. “Kembalilah kalian semuanya! Telah kuperiksa seluruh tempat dan jalan-jalan yang mungkin dilaluinya. Namun aku tidak menemukan Muhammad sialan itu! dan kalian semua tidak sepandai aku dalam mencari jejak!” teriak Suraqah kepada mereka.
Dengan kecewa, orang-orang itu mengurungkan niatnya. Sementara Suraqah tetap merahasiakan pertemuannya dengan Rasulullah. Setelah ia yakin benar Rasulullah telah tiba di Madinah, barulah ia membuka rahasia itu. Mendengar cerita Suraqah, Abu Jahal marah besar dan berteriak, “Pengecut! Tak tahu malu! Engkau benar-benar bodoh!” teriak Abu Jahal.
“Hai Abul Hakam! Demi Allah, kalaulah engkau mengalami peristiwa yang kualami ketika kaki kudaku amblas ke dalam pasir, engkau akan yakin dan tak akan ragu sedikit pun, bahwa Muhammad itu benar-benar utusan Allah. Nah, siapa yang sanggup menantangnya, silakan!” sahut Suraqah tak kalah galaknya.
Hari terus berganti. Sepuluh tahun kemudian, Rasulullah yang dulunya harus meninggalkan kampung halamannya berhasil menaklukkan Makkah, kota kelahirannya. Saat itulah, para pembesar Quraisy yang selama ini memusuhinya, datang menghadap dengan kepala tunduk. Rasa takut dan cemas memenuhi hati mereka. Keinginan mereka hanya satu: mohon belas kasihan. Dan Rasulullah bukanlah pendendam, karenanya mereka semua dilepas dan dimaafkan. “Pergilah, kalian semua bebas,” ucap Rasulullah.
Beberapa saat kemudian, datang seorang lelaki dengan menunggang kuda. Ia ingin sekali menemui Rasulullah. Lelaki itu adalah Suraqah yang ingin menyatakan imannya di hadapan Rasulullah langsung. Tidak lupa dia membawa sepotong tulang bertuliskan perjanjian Rasulullah kepadanya sepuluh tahun yang lalu. Suraqah berhasil menemui Rasulullah di Ju’ranah, di perkemahan pasukan berkuda bersama kaum Anshar. Tetapi orang-orang yang ada di sekitar perkemahan itu tidak mengizinkan Suraqah untuk mendekat. Bahkan di antara mereka ada yang memukulnya dengan gagang tombak.
“Berhenti! Berhenti! Hendak ke mana engkau?” cegah mereka.
Suraqah diam saja. Pukulan dan upaya para sahabat untuk menghalanginya tidak ia hiraukan. Ia terus menyeruak di antara mereka hingga bisa mendekati Rasulullah yang sedang duduk di atas unta. Begitu Rasulullah melihatnya, Suraqah segera mengangkat tulang yang dipegangnya.
“Wahai Rasulullah, saya Suraqah bin Malik. Dan ini tulang bertuliskan perjanjian engkau kepadaku dahulu.”
“Mendekatlah ke sini wahai Suraqah, mendekatlah! Hari ini adalah hari menepati janji!” sahut Rasulullah.
Di hadapan Rasulullah, Suraqah mengikrarkan keislamannya. Tak lama kemudian, hanya dalam waktu lebih kurang sembilan bulan sesudah ia menyatakan masuk Islam, Rasulullah kembali menghadap Allah swt. Semua sahabat bersedih, tak terkecuali Suraqah. Bayangan masa lalunya muncul, ketika ia hendak membunuh Rasulullah yang mulia, hanya karena mengharapkan seratus ekor unta. Padahal sekarang andaikata seluruh unta di muka bumi dikumpulkan untuknya, tiadalah berharga dibanding seujung kuku Nabi. Tanpa disadarinya, dia mengulang ucapan Rasulullah kepadanya, “Bagaimana, hai Suraqah, jika engkau memakai gelang kebesaran Kisra?”
Sepeninggal Rasulullah, ummat Islam dipimpin oleh Abu Bakar. Tapi, hingga Abu Bakar wafat Suraqah belum mendapatkan janji Rasulullah itu. Karena memang Persia belum ditaklukkan. Namun Suraqah tidak pernah ragu, suatu waktu janji itu pasti terbukti. Barulah pada akhir masa khalifah Umar bin Khatab, tentara kaum Muslimin berhasil menaklukkan kerajaan Persia.
Beberapa utusan panglima Sa’ad bin Abi Waqqash yang telah menaklukkan Persia itu tiba di Madinah. Di samping melaporkan kemenangan-kemenangan yang dicapai tentara Muslim, mereka juga menyetorkan seperlima harta rampasan perang yang diperoleh selama mereka berjuang menegakkan kalimatullah.
Khalifah Umar tertegun memandangi tumpukan rampasan perang itu. Ada mahkota raja-raja, pakaian kebesaran kerajaan bersulam, dan benda-benda lain yang sangat indah. Khalifah membalik-balik tumpukan itu dengan tongkatnya. Kemudian berpaling kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya seraya berkata, “Alangkah jujurnya orang-orang yang menyetorkan semua ini.”
Ali bin Abi Thalib yang turut hadir ketika itu menyahut, “Wahai Amirul Mukminin, lantaran engkau jujur maka rakyat pun jujur pula. Tetapi bila engkau curang, maka rakyat akan curang pula.”
Khalifah Umar mengambil dua gelang kebesaran Kisra dan menyerahkannya kepada Suraqah bin Malik. Saat itulah Suraqah teringat kembali janji Rasulullah kepadanya. Setelah menanti sekian lama, janji itu terbukti sudah. Rasa haru dan bahagia bergetar di hatinya. Sungguh besar hidayah Allah yang telah membuatnya percaya pada kerasulan Muhammad saw. Ia juga tidak akan pernah melupakan kasih sayang Rasulullah, yang telah memaafkannya padahal ia hendak membunuhnya. Ya, kasih sayang itu terus dikenangnya, bahkan dirindukannya hingga akhir hayatnya.

Sumber :  http://dhaniabdullah.wordpress.com/2012/07/31/suraqah-bin-malik-menanti-janji-rasulullah/ Share

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 KIRAYA and Powered by Blogger.