“Barang siapa yang berhasil membawa Muhammad,
hidup
atau mati, maka baginya seratus ekor unta betina yang hampir beranak.”
Demikian bunyi pengumuman spektakuler itu.
Berita itu menyebar ke mana-mana. Tak terkecuali ke
Madlaj, kampung kecil di pinggiran kota Makkah. Ketika utusan dari
Makkah datang membawa berita sayembara itu, beberapa penduduk kampung
itu sedang nongkrong di Balai Desa. Mendengar pengumuman itu,
seorang pemuda bernama Suraqah bin Malik al-Madlaji sangat tertarik. Dia
bertekad merebut hadiah besar itu. Rasa tamak membuatnya ingin
memenangkan sayembara itu sendirian. Karena itu, ia tidak membeberkan
rencananya ke orang lain.
Kebetulan, ada seorang lelaki datang ke Balai Desa.
Laki-laki itu bercerita bahwa baru saja dia berpapasan dengan tiga orang
musafir. Kuat dugaannya, ketiga orang itu adalah Muhammad, Abu Bakar
dan seorang penunjuk jalan.
“Tidak mungkin!” bantah Suraqah. “Mereka adalah Bani
Fulan yang tadi lewat sini untuk mencari unta mereka yang hilang,”
lanjut Suraqah mengaburkan perhatian mereka.
“Mungkin saja,” kata yang lain mengiyakan Suraqah.
Siasat Suraqah tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang berada di
Balai Desa. Ketika mereka beralih membicarakan masalah lain, diam-diam
Suraqah menyelinap keluar. Ia bergegas pulang. Sampai di rumah, ia
menyuruh pelayannya menyiapkan kuda dan membawanya ke sebuah lembah yang
disepakati dan menambatkannya di sana.
“Keluarlah dari pintu belakang. Hati-hati, jangan sampai dilihat orang! Siapkan juga senjataku,” perintah Suraqah.
Beberapa saat kemudian, Suraqah pergi menyusul.
Setelah berjumpa dengan pelayannya, segera ia mengenakan baju besi,
menyandang pedang dan memasang pelana. Kemudian ia memacu kudanya
sekencang-kencangnya. Dalam benaknya terbayang seratus ekor unta akan
berada dalam genggamannya.
Suraqah bin Malik terkenal sebagai penunggang kuda
yang cetakan. Perawakannya tinggi besar, pandangan matanya tajam. Pantas
ia menjadi pencari jejak yang andal. Tidak ada jalan yang sulit
baginya. Apalagi kudanya tangkas dan terlatih baik.
Suraqah terus memacu kudanya. Tanpa diduga, tiba-tiba
kaki kudanya tersandung. Suraqah pun jatuh terguling. “Kuda sialan!”
katanya menyumpah kesal.
Tanpa mempedulikan rasa sakit, ia melompat lagi ke
punggung kudanya, dan langsung menghelanya. Baru beberapa tombak,
kudanya tersandung lagi. Suraqah semakin kesal sekaligus heran. Belum
pernah ia mengalami kejadian seperti ini. Sempat terbesit di hatinya,
ingin kembali saja ke kampungnya. Tapi ambisinya untuk memiliki seratus
ekor unta membakar semangatnya untuk memacu lagi kudanya.
Tiba-tiba dada Suraqah berdesir. Kegembiraan yang
luar biasa meluap dalam hatinya. Tidak begitu jauh di depan, ia melihat
tiga orang sedang berjalan. Ia yakin mereka adalah objek buruannya.
Pelan-pelan ia mendakat. Dan dalam jarak yang sangat dekat, tangannya
bergerak mengambil busur. Aneh, tiba-tiba tangannya menjadi kaku,
sedikitpun tak dapat digerakkan. Kaki kudanya terbenam pasir. Debu-debu
berterbangan di sekitarnya, membuat matanya kelilipan dan tak dapat
melihat. Dicobanya menggertak kuda tetapi sia-sia saja. Kaki kudanya
lekat di bumi bagai dipaku. Dalam keadaan panik, Suraqah akhirnya
berteriak, “Hai, berdo’alah kepada Tuhan kalian, supaya Dia melepaskan
kaki kudaku. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian!”
Rasulullah menoleh, tersenyum, dan berdo’a. Sungguh
menakjubkan, kaki kuda Suraqah terbebas dari jepitan pasir. Suraqah
merasa heran dan kagum. Namun rasa tamak sudah menguasai dirinya.
Melupakan janjinya, secara tiba-tiba ia maju menerjang Rasulullah.
Malang baginya, kaki kudanya terperosok lagi, bahkan lebih parah dari
semula. Rasa takut menggentarkan hati Suraqah. Ia segera memohon belas
kasihan kepada Rasulullah.
“Ambillah perbekalanku, harta, dan senjataku. Aku berjanji, demi Allah, tidak akan mengganggu kalian lagi,” ucap Suraqah.
“Kami tidak butuh hartamu. Jika kamu menyuruh kembali
setiap orang yang hendak mengejar kami, itu sudah cukup bagi kami,”
jawab Rasulullah saw. Rasulullah lantas berdo’a, dan bebaslah Suraqah
dan kudanya.
“Demi Tuhan, saya tidak akan mengganggu tuan-tuan
lagi. Aku akan menyuruh kembali setiap orang yang berusaha melacak
kalian sesudahku nanti,” janji Suraqah seraya beranjak kembali.
“Apa yang engkau kehendaki dari kami?” tanya Rasulullah.
“Demi Allah, wahai Muhammad, saya yakin agama yang
engkau bawa akan menang dan kekuasaan engkau akan tinggi. Berjanjilah
padaku, apabila aku nanti datang menemuimu, sudilah engkau bermurah hati
padaku.”
“Hai Suraqah, bagaimana jika pada suatu waktu engkau memakai gelang kebesaran Kisra?” tanya Rasulullah.
“Gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz?” cetus Suraqah kaget.
“Ya, gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz!”
“Tuliskanlah itu untuk saya.”
Rasulullah menyuruh Abu Bakar menulis pada sepotong tulang, lalu beliau memberikan tulang itu kepada Suraqah.
Setelah yakin Rasulullah bisa melanjutkan kembali
perjalanannya dengan aman, Suraqah kembali pulang. Di tengah jalan ia
berpapasan dengan orang-orang yang hendak mengejar Rasulullah.
“Kembalilah kalian semuanya! Telah kuperiksa seluruh tempat dan
jalan-jalan yang mungkin dilaluinya. Namun aku tidak menemukan Muhammad
sialan itu! dan kalian semua tidak sepandai aku dalam mencari jejak!”
teriak Suraqah kepada mereka.
Dengan kecewa, orang-orang itu mengurungkan niatnya.
Sementara Suraqah tetap merahasiakan pertemuannya dengan Rasulullah.
Setelah ia yakin benar Rasulullah telah tiba di Madinah, barulah ia
membuka rahasia itu. Mendengar cerita Suraqah, Abu Jahal marah besar dan
berteriak, “Pengecut! Tak tahu malu! Engkau benar-benar bodoh!” teriak
Abu Jahal.
“Hai Abul Hakam! Demi Allah, kalaulah engkau
mengalami peristiwa yang kualami ketika kaki kudaku amblas ke dalam
pasir, engkau akan yakin dan tak akan ragu sedikit pun, bahwa Muhammad
itu benar-benar utusan Allah. Nah, siapa yang sanggup menantangnya, silakan!” sahut Suraqah tak kalah galaknya.
Hari terus berganti. Sepuluh tahun kemudian,
Rasulullah yang dulunya harus meninggalkan kampung halamannya berhasil
menaklukkan Makkah, kota kelahirannya. Saat itulah, para pembesar
Quraisy yang selama ini memusuhinya, datang menghadap dengan kepala
tunduk. Rasa takut dan cemas memenuhi hati mereka. Keinginan mereka
hanya satu: mohon belas kasihan. Dan Rasulullah bukanlah pendendam,
karenanya mereka semua dilepas dan dimaafkan. “Pergilah, kalian semua
bebas,” ucap Rasulullah.
Beberapa saat kemudian, datang seorang lelaki dengan
menunggang kuda. Ia ingin sekali menemui Rasulullah. Lelaki itu adalah
Suraqah yang ingin menyatakan imannya di hadapan Rasulullah langsung.
Tidak lupa dia membawa sepotong tulang bertuliskan perjanjian Rasulullah
kepadanya sepuluh tahun yang lalu. Suraqah berhasil menemui Rasulullah
di Ju’ranah, di perkemahan pasukan berkuda bersama kaum Anshar. Tetapi
orang-orang yang ada di sekitar perkemahan itu tidak mengizinkan Suraqah
untuk mendekat. Bahkan di antara mereka ada yang memukulnya dengan
gagang tombak.
“Berhenti! Berhenti! Hendak ke mana engkau?” cegah mereka.
Suraqah diam saja. Pukulan dan upaya para sahabat
untuk menghalanginya tidak ia hiraukan. Ia terus menyeruak di antara
mereka hingga bisa mendekati Rasulullah yang sedang duduk di atas unta.
Begitu Rasulullah melihatnya, Suraqah segera mengangkat tulang yang
dipegangnya.
“Wahai Rasulullah, saya Suraqah bin Malik. Dan ini tulang bertuliskan perjanjian engkau kepadaku dahulu.”
“Mendekatlah ke sini wahai Suraqah, mendekatlah! Hari ini adalah hari menepati janji!” sahut Rasulullah.
Di hadapan Rasulullah, Suraqah mengikrarkan
keislamannya. Tak lama kemudian, hanya dalam waktu lebih kurang sembilan
bulan sesudah ia menyatakan masuk Islam, Rasulullah kembali menghadap
Allah swt. Semua sahabat bersedih, tak terkecuali Suraqah. Bayangan masa
lalunya muncul, ketika ia hendak membunuh Rasulullah yang mulia, hanya
karena mengharapkan seratus ekor unta. Padahal sekarang andaikata
seluruh unta di muka bumi dikumpulkan untuknya, tiadalah berharga
dibanding seujung kuku Nabi. Tanpa disadarinya, dia mengulang ucapan
Rasulullah kepadanya, “Bagaimana, hai Suraqah, jika engkau memakai
gelang kebesaran Kisra?”
Sepeninggal Rasulullah, ummat Islam dipimpin oleh Abu
Bakar. Tapi, hingga Abu Bakar wafat Suraqah belum mendapatkan janji
Rasulullah itu. Karena memang Persia belum ditaklukkan. Namun Suraqah
tidak pernah ragu, suatu waktu janji itu pasti terbukti. Barulah pada
akhir masa khalifah Umar bin Khatab, tentara kaum Muslimin berhasil
menaklukkan kerajaan Persia.
Beberapa utusan panglima Sa’ad bin Abi Waqqash yang
telah menaklukkan Persia itu tiba di Madinah. Di samping melaporkan
kemenangan-kemenangan yang dicapai tentara Muslim, mereka juga
menyetorkan seperlima harta rampasan perang yang diperoleh selama mereka
berjuang menegakkan kalimatullah.
Khalifah Umar tertegun memandangi tumpukan rampasan
perang itu. Ada mahkota raja-raja, pakaian kebesaran kerajaan bersulam,
dan benda-benda lain yang sangat indah. Khalifah membalik-balik tumpukan
itu dengan tongkatnya. Kemudian berpaling kepada orang-orang yang hadir
di sekitarnya seraya berkata, “Alangkah jujurnya orang-orang yang
menyetorkan semua ini.”
Ali bin Abi Thalib yang turut hadir ketika itu
menyahut, “Wahai Amirul Mukminin, lantaran engkau jujur maka rakyat pun
jujur pula. Tetapi bila engkau curang, maka rakyat akan curang pula.”
Khalifah Umar mengambil dua gelang kebesaran Kisra dan menyerahkannya
kepada Suraqah bin Malik. Saat itulah Suraqah teringat kembali janji
Rasulullah kepadanya. Setelah menanti sekian lama, janji itu terbukti
sudah. Rasa haru dan bahagia bergetar di hatinya. Sungguh besar hidayah
Allah yang telah membuatnya percaya pada kerasulan Muhammad saw. Ia juga
tidak akan pernah melupakan kasih sayang Rasulullah, yang telah
memaafkannya padahal ia hendak membunuhnya. Ya, kasih sayang itu terus
dikenangnya, bahkan dirindukannya hingga akhir hayatnya.Sumber : http://dhaniabdullah.wordpress.com/2012/07/31/suraqah-bin-malik-menanti-janji-rasulullah/ Share
0 komentar:
Posting Komentar